Pemuda : “Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
Sufi : “Apa yang sudah anda lakukan?”
Pemuda : “Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
Sufi : “Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”
Kemudian sang pemuda tersebut terdiam, lalu berkata, “Bukankah semua itu hasil jerih payahku sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”
Sufi : “Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”Pemuda : “Saya sendiri…hmmm….”
Sufi: : “Jadi kamu mau masuk surga sendiri dengan amal-amalmu itu?”
Pemuda : “Pastinya tuan…”
Sufi: : “Saya tak jamin kamu bisa masuk ke surga. Kalau memang anda masuk, malah akan tersesat disana…”
Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali rasanya sang pemuda tadi menampar wajah sang sufi. “Mana mungkin di surga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
Sufi : “Kamu benar. Tapi sesat bagi setan, petunjuk bagi saya….”Pemuda : “Toloong untuk diperjelas…”
Sufi : “Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”
Pemuda : “Lho kenapa?”
Sufi : “Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
Pemuda : “Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”
Sufi : “Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”
Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.
Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.
“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup membaca istighfar. Kalau kamu berambisi masuk surga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta surga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana tuan…” Pemuda itu berkata lepada Sufi“Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup membaca istighfar. Kalau kamu berambisi masuk surga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta surga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Mulailah menuju Sang Pencipta surga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke surga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…” Jawab Sufi
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.“Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.
Cerita di atas merupakan anehdot yang penulis ambil dari sufinews.com.
Dengan demikian, maka sudah satina kita berpedoman bahwa “Sejatinya Manusia dalam beribadah kepada Allah, hendaknya dilandasai oleh rasa cinta dan semata-mata ingin mengharapkan Ridho Ilahi, bukan karena dorongan ingin masuk surga atau karena takut panasnya neraka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar